Waktu Yang berdetak (bagian pertama)

BAGIAN I: KELUARGA DI DESA

Dimasa penghujung masa remajaku saat masih berusia 19 tahunan, aku hidup disebuah desa yang terletak ditepi sungai gaung, sebuah desa dengan gambaran kritis; air tawar berwarna cokelat teh mengalir dari hilir ke hulu untuk menaikan pasang dan sebaliknya jika sudah sampai kehulu akan kembali mengalir kehilir dan air sungai akan menjadi surut, ketika surut nampak lumpur berwarna abu abu keputih putihan diantara tanaman bakung terapung yang kandas diatasnya, perahu perahu yasng tertambat miring dan kandas dantara batang batang yang sengaja di sorong ketengah oleh penduduk yang suka mendirikan rumah ditepiannya. Setiap rumah memiliki pelantar yang berfungsi sebagai dermaga untuk menambatkan perahu perahu mereka.

Aku melewati setiap musim, membantu orangtuaku bertani dan melintasi sungai menuju ke kebun kebun kelapa dengan mendayung atau mengayuh perahu, jika musim panas pasang surut air menjadi ekstrem, sungai seolah kering, tidak mudah melewati anak anak sungainya yang kecil untuk mencapai kebun kebun kelapa kami yang kadang jauh di hulunya. Semakin jauh ke hulu semakin dangkal airnya kadang kami harus turun mendorong perahu itu, ayahku atau adikku dibelakang atau aku didepan dan membiarkan ibuku tetap berada didalam perahu, jika sudah sampai kami akan naik dan memijak tanah gambut. Di musim panas rumput kusut kusut hijau tebal terasa empuk ketika dipijak oleh kaki kami, kami membersihkan rumput rumput dibawah pohon pohon kelapa yang ditanam berjejer dengan ukuran tertentu. Berada diantara pohon kelapa yang rendah terasa sejuk karena dinaungi oleh daun daunnya.

Aku menyukai musim panas ketika pagi dan sore kami melewati sungai dengan pohon pohon jingah berpucuk merah, daun daun pohon pohon itu bergelombang dihembus angin dan dilompati oleh monyet monyet berekor panjang yang suka memakan pucuk pucuknya, air terasa tenang dan berwarna coklat terang hanya kayuhan perahu yang membuatnya beriak oleh gelombang kecil. 

Tapi aku juga selalu memiliki kenangan manis ketika hujan ditengah sungai itu, tubuh mudaku menahan dinginnya air yang turun dari langit, aku sering menengadah dan tak pernah mampu menghitung titik titik yang sedang berjatuhan itu, aku dan adik lelakiku biasanya tertawa dan berteriak kesenangan, kami berhenti mengayuh perahu dan memandang alam yang menjadi buram dan abu abu oleh warna mendung dan hujan mencurah, pohon pohon menjadi samar dan aku tahu disanalah kesenangan memiliki keluarga seperti kami yang ditakdirkan terlahir sebagai 7 bersaudara. Mungkin satu satunya aku sebagai anak tertua yang menyimpan kenangan kecil itu yang nyaris hilang diantara rutinitas dan pertengkaran pertengkaran anak anak lelaki yang harus bekerja membantu orangtua.

Aku penyendiri, pendendam. Waktu remaja itu aku tidak jelek, remaja berkulit kuning langsat dengan rambut tebal ikal cenderung keriting, dengan bola mata hitam kecokelatan, di sekolah aku lebih sering dilirik anak prempuan walau tidak begitu tertarik dengan hubungan romantis. Bapakku kepala sekolah sebuah madrasah didesa. Suatu hari aku benar benar jatuh cinta pada seseorang, cinta yang akhirnya kuanggap salah pada waktunya.

Awal tahun 90an desa kecil kami mulai berubah, semakin banyak perahu bermotor melintasi sungai panjang itu melintas dari hulu ke hilir melewati rumah rumah yang berjejer, ada kegiatan logging, penebangan hutan menjadi jadi dihulu desaku. Hampir setiap hari bertemu dengan teman temanku topiknya adalah pergi kehulu sungai menebang kayu, meotongnya dan mendapat uang yang banyak! aku tidak dapat membayangkan bekerja didalam hutan pada musim hujan ketika air pasang naik dan dimanfaatkan untuk menghanyutkan kayu kayu gelondongan yang sudah berbentuk rakit. Aku tidak tertarik. Yang menarik bagiku adalah penghasilannya mampu membuat mereka membayar mas kawin untuk melamar gadis gadis pujaan hati mereka dengan mudah. Bagiku itu berat, sementara usia kami beranjak melewati duapuluhan kami juga harus segera menikah. Penebangan hutan yang terus menerus mulai mempengaruhi desa kami ketika musim pasang naik, jalanan mulai terendam hingga kehalaman rumah penduduk.

Tidak cukup sampai disitu, ketika kayu yang akan ditebang semakin langka, orang orang termasuk para pemuda desa kami, mulai membuat rel darurat berkilo kilometer jauhnya kedalam hutan untuk menebang kayu, tentu saja semakin sulit dan semakin membutuhkan beaya. Namun logging terus berjalan dengan ijin maupun tanpa ijin dari pemerintah. Aku mulai melihat swammile swammile mulai didirikan disepanjang tepian sungai untuk mengolah kayu gelondongan menjadi kayu batangan sebagai material bangunan. yang kuingat dari swamille swamille ini adalah suaranya yang bising baik siang maupun malam, lalu bau rendaman kayu yang mengandung racun. Dan disinilah kisah itu berawal menjadi tidak pernah aku lupakan seumur hidupku.

...Time like the wind
goes a hurrying by
and the hours just fly....

>>>>>>>>>>>

Kurasa tidak ada orang yang mengingat peristiwa ini seperti aku mengingat dan menyimpannya didalam ingatanku. Waktu itu pagi berlalu dalam deru mesin potong kayu dengan ukuran gergaji piringan yang besar, suaranya menderu, mencicit dan kadang memekakan telinga, itulah alasannya mengapa aku tidak betah berada dibangsal bangsal mesin potong, dedak dedak atau serbuk kayu berterbangan menjadi debu yang bisa menyesakan nafasmu. Dedak dedak bersama serpihan kecil sisa potongan kayu menjadi alas berpijak, para operator potong dengan gaji lumayan untuk ukuran penduduk desa merasa bangga dengan ketrampilan mengoperasikan mesin potong itu. Aku sendiri tidak pernah tertarik, maka dari itulah aku lebih memilih menjadi kuli angkut, memikul kayu kayu yang sudah menjadi papan dan menyusunnya dibangsal penyimpanan. 

Pada waktu istirihat aku mengambilkan air minum untuk Gayus, dia lebih tua sepuluh tahun dariku usianya sudah 31 tahun, 10 tahun yang lalu dia menikah dan sekarang sudah memiliki anak prempuan usia 4 tahun dipanggilnya Dhea, kadang aku senang menggoda anak prempuan kecil yang suka bermain sendirian di mess atau biding kayu tempat para operator tinggal itu. Dia tidak memiliki teman selain kami atau tepatnya aku dan Gayus ayahnya. Dhea anak yang cerdas.

"Bang istirhat dulu" teriakku "sudah pukul 12, lho. Ini air minum"
Gayus menoleh, namun meneruskan membelah batangan kayu dengan piringan, terdengar suara mesin yang dipaksa menjerit jerit memekakan telinga. Namun setelah kayu besar itu terbelah menjadi dua dia segera bergerak ke arah bangku tempat aku minum.

"Mana kopinya?" Katanya menyeringai sambil meraih rokok.
"ya beli sana" aku menunjuk ke warung ditepi sungai.

Dia menggelengkan kepala: "mending kamu buat dibeding" suruhnya.
Dan aku bergerak mengikuti sarannya. Tentu saja aku harus menyalakan kompor minyak tanah dan merebus airnya terlebih dahulu. Didapur aku mulai menciduk air dan memasukannya kedalam cerek hitam karena arang. Dhea mendekatiku: 

"Om mana mancis biar aku nyalakan kompor" pintanya
Aku menoleh dan tertawa: "Emang berani? kalau tiga kali gak hidup mancis habis, mana kompor meledak nanti"

Dhea melotot: "Memangnya apaan, cuma ngidupin kompor gak bisa, sini mancis" pintanya dengan suara meninggi.

Aku merogoh saku dan menyerahkan mancis, lalu kembali kepenampungan air untuk menutupnya.
Ketika aku bergerak kedapur, Dhea malah menghampiriku dan menyerahkan mancis kembali kepadaku.

"Gak bisa, mancisnya susah" keluhnya.
Aku tertawa dan mengejeknya: "Makanya...."
Ketika aku memeriksa isi mancis hanya tinggal sebatang aku melotot, Dhea telah pergi bermain kubus kubus warna warni dihalaman sendirian. Aku hanya bisa geleng geleng kepala karena harus benar benar memanfaatkan sebatang korek api dan tidak boleh gagal atau tertunda bapaknya si Dhea minum kopi.

Hari hari berlalu bersama gumpalan awan diatas pucuk pucuk rumbia yang melambai lambai gemulai ditepian sungai batang tuaka, aku mengayuh perahu perlahan, hari ini ibuku membuatku sedikit kesal:

"Usiamu sudah hampir 20, teman temanmu sudah menikah, jangan terus bermalasan, kamu ini asik bangun pagi terlambat. Bersihkan kebun sehingga nanti bisa menjadi penghasilan ketika kamu kelak sudah harus menghidupi keluargamu sendiri. Bagaimana kamu bisa melamar anak gadis orang kalau tidak mengumpulkan uang dari sekarang untuk dijadikan mas kawin?" Cecar ibu, dan dia tidak akan bisa berhenti sebelum aku pergi meninggalkan omelannya yang masih menggantung dibelakang perahu yang meluncur meninggalkan pelantar kayu rumah. Oh nasib, keluhku dalam hati, mandi saja tadi tidak sempat. Namun walau bagaimanapun ibu tetaplah seorang ibu. Aku mencintainya dan menyadari jauh dalam hatiku dia hanyalah seorang prempuan desa yang menikah pada usia 14-15 tahun lalu melahirkan aku putera pertamanya. Sepanjang hidupnya setalah itu dia harus bekerja keras membantu penghasilan ayah yang hanya seorang pegawai negeri biasa, apalagi setelah enam adik adikku lahir satu persatu dimana usia kami bersaudara tidak bertaut selisih terlalu jauh.

Pada masa itu bahkan masih terbawa hingga kini, anggapan bahwa seorang anak prempuan tidak perlu sekolah tinggi tertanam dibenak prempuan desa, toh akhirnya bekerja didapur memasak makanan dan melayani suami. Ibuku juga berfikiran seperti itu, kadang sering juga keluar kata kata rasialis darinya, misalnya suku lain itu beda, bahwa kita sebaiknya ya menjaga tradisi baik dari suku kita. Kadang aku berfikir mengapa didunia begitu banyak perbedaan, bang Gayus dan anak prempuannya Dhea datang jauh dari Manado, dia bukan Muslim, tapi entah mengapa aku begitu dekat dengannya dan dia menganggapku lebih dari seorang sahabat. Begitu juga puterinya menganggapku sebagai pamannya, kadang aku dijadikan tempatnya bermanja seperti dia bermanja kepada bang Gayus bapaknya. Bang Gayus sendiri sering mengajariku segala macam ketrampilan, memberiku semangat untuk berani dan kadang mendorongku untuk pergi merantau melihat dunia luar.

"Teruslah belajar, Di. Karena belajar itu tidak terbatas hanya dibangku sekolah. Abang ini putus sekolah lalu dan melewati banyak peristiwa selama hidup hingga berkeluarga" cerita bang Gayus selalu menarik perhatianku.
Dia pernah menjadi operator Loader, crane dan berbagai peralatan berat. Dia pernah bekerja di singapore. Kedengarannya sangat menarik bagiku kadang dia mendapatkan upah besar tergantung perusahaan mana tempat dia bekerja. Tapi kemudian aku berfikir, kalau di singapore enak dan gajinya besar, kalau mengoperasikan peralatan peralatan itu nampaknya keren, mengapa akhirnya dia sekarang hanya menjadi operator mesin potong sebuah swammile kayu gelondongan di sebuah desa?

Seperti mengerti pikiranku dia tersenyum memandang kesungai, angin menghembus kewajah kami yang duduk berjejer dengan kaki menjuntai di sebuah batangan kayu besar:
"Nasib seorang pekerja berbeda dengan nasib seorang pengusaha atau professional, Di. Kamu masih muda, masih banyak punya kesempatan mengambil pendidikan atau kursus seperti mengetik, komputer dan bahasa Inggris, percayalah pada abang, kelak itu sangat membantu. Abang tahu kamu anak muda yang pintar, kamu beda dengan anak anak muda lain, kamu mendengarkan saya dan selalu ingin tahu. Pertanyaanmu tidak membosankan dan selalu membuat abang tersanjung"

Aku hanya tersenyum tipis, dan dia melanjutkan:

"Mengenai soal jodoh seperti yang ibumu kuatirkan, abaikan saja. Dia akan menyadari bahwa zaman sudah berubah. Di, kamu ganteng kok pasti mudah dapat cewek" candanya

Aku tertawa sambil mengusap rambut menoleh kekanan dan ke kiri dan teringat pamanku yang setengah baya apabila di puji ganteng..

"Memang banyak orang yang ngomong mana kaca...mana kaca..."balasku bercanda.
Bang Gayus tertawa hingga nampak giginya yang putih dan rapi.   

"Dasar" tawanya meninggi.

BAGIAN II: PERJALANAN WAKTU YANG MELUKAI

Desember tahun itu adalah musim penghujan, namun sebenarnya aku tidak begitu mengerti tentang musim di kampung halamanku, kukira semua musim sama. Namun setiap musim selalu menandai kenangan akan masa yang telah berlalu. Aku masih bermain bersama  Dhea, waktu itu aku telah memiliki teman prempuan gadis desa yang masih sekolah kelas 1 SMA namanya Naya, lengkapnya Nirmaya Ramlan, tidak tahu bagaimana dia mendapatkan nama itu atau bagaimana nama itu diberikan kepadanya, tapi yang jelas aku sangat mencintai Naya, dia gadis yang penuh pengertian, bapak dan ibunya orang terpandang punya usaha pengolahan kopra dan memiliki kebun luas didesa, keluarganya tidak berasal dari kampung kami, tepatnya pendatang dari Sulawesi bagiku itu jauh sekali, rasanya lebih baik pergi ke Malaysia karena negara jiran itu justeru lebih dekat ke desa kami. Hubungan kami berjalan tanpa sepengatahuan keluarganya dan juga keluargaku, sikap kami seolah hanya berteman biasa. Dan hal itu sering menjadi kesalah fahaman diantara teman temanku yang juga menaruh hati diam diam kepada Naya. Tidak mudah bagi kami menjalin hubungan seperti itu.

"Naya" kataku suatu hari
"ya" sahutnya.
''sepertinya aku harus pergi ke malaysia'' kataku
Naya menoleh dan memandang wajahku rambutnya yang panjang dan ikal bermain di leher jenjangnya, matanya yang tajam dan bulat memicing menahan hembusan angin.
''dan lalu?"
''kita mungkin akan berpisah, makudku kamu disini, dan aku disana di Johor''
''Di, apapun yang terbaik untukmu aku dukung, hanya saja soal hubungan kita aku mungkin tidak bisa bertahan tanpa kepastian, aku sudah hampir 18 tahun 6 bulan lagi, lho, kamu tahu Di, mungkin aku harus segera menikah, aku tidak mau menjadi penghalang cita citamu'' katanya lirih namun bibirnya tersenyum.
''Aku sayang kamu, kamu tahu itu, tapi bila harus berpisah aku ikhlas, semua itu demi dirimu sendiri, Di'' lanjutnya.
Aku tidak berani melihat wajahnya cuma memandang pepohonan yang daun daunnya menari nari dihembus angin di bulan Desember. Naya selalu menganggapku orang baik dan apapun yang akan kulakukan itu selalu benar. Dia lebih suka menelan kekecewaan untuk dirinya sendiri daripada membuatku kecewa.

Dan aku memutuskan akan pergi ke Johor Malaysia daripada harus bekerja logging, sama dengan kebanyakan teman teman yang telah pergi duluan ke berbagai daerah, ke Batam, ke Singapore, dan ke Malaysia, aku ingin nasibku berubah dengan mengumpulkan uang dan menjadikannya modal untuk masa depanku kelak sebagai anak muda yang di lahirkan di sebuah desa terpencil cita citaku tentu saja tidak  muluk: Aku hanya ingin membeli kebun kopra yang kelak akan ku kembangkan menjadi luas dan dengan itu kebanyakan orang tua tua di desaku bisa naik haji. Seperti kedua orang tua Naya dan dia mengerti persis jalan pikiranku itu.

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Aku terbangun pukul 7.00 masih di bulan Desember, itu sangat terlambat untuk pekerja swammille jadi aku hanya cuci muka dan tidak mandi, Dhea puterinya bang Gayus yang masih 5 tahun itu menggangguku dan mengatakan aku bau, malam tadi aku memang tidur di mesnya bang Gayus. Sambil memakai baju dan minum air putih aku melihat keluar melalui jendela, suara mesin potong menjerit bagai berteriak bagai terpaksa di tangan bang Gayus dan beberapa orang operator potong. Aku melangkah langsung ke serpihan kayu yang telah dipotong dan mulai mendorongnya dengan pengungkit, bang Gayus menolehku namun tidak berkata apa apa, dia terus saja memotong dan memaksa mesin potong bekerja.

Dan aku mulai mengangkut potongan potongan kecil, memanggulnya di bahu, kadang begitu sulit menyusunnya di bahu tanpa menjatuhkan beberapa potong, namun karena terbiasa akhirnya aku dapat melakukannya dengan benar. Dan itu kulakukan sampai tumpukan di penyimpanan tempatku menyusunya terasa sudah mencukupi aku akan berisitirihat. Kulihat bang Gayus masih tekun memotong, akupun duduk menghadap ke seberang sungai memandangi pepohonan sagu dengan mata kosong. Aku masih teringat pembicaraan dengan Naya semalam, aku tahu artinya sama seperti kebanyakan pemuda lain kami kadang kehilangan calon pasangan hidup karena faktor ekonomi dan keadaan dan pada kami berdua kami berdua telah berada ditempat dan waktu yang salah: Naya adalah seorang anak prempuan dan hidup di masa dimana di desa seorang prempuan harus menikah sebelum usianya 20 tahun atau jadi wanita tak laku, sedangkan aku adalah anak lelaki, aku masih memiliki waktu yang panjang, dan pilihan yang lebih banyak. Kedengarannya tidak adil bagi Naya dan kedengarannya pikiran dan logikaku tidak adil atas nama cinta, tapi sungguh dengan sepenuh hati (bukan pikiran dan logika) aku sangat sayang Naya. Namun Naya mengerti dan dia tetap mencintai aku dengan caranya sendiri.

Lamunanku buyar ketika tiba tiba aku mendengar teriakan dan dentuman logam nyaring sekali, aku berdiri dari tempat dudukku dan menoleh dengan terpana, aku melihat seseorang terkapar ditempat bang Gayus bekerja dan didatangi oleh orang orang  berlarian. Aku berlari sekencang aku bisa menghampiri tempat itu.

Dan aku ingin sekali tidak mempercayai  pemandangan mengerikan itu, bang Gayus terkapar dengan leher hampir putus! Patahan mata mesin pemotong yang selalu dipaksa itu akhirnya patah dan pecahan baja pemotong itu mengenai lehernya.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku hanya terpana dengan perasaan bercampur aduk terutama sangat sedih ketika orang orang mulai mengurusi tubuh bang Gayus, dan aku lebih sedih lagi ketika Dhea memberontak dari pelukan seorang prempuan dan mencoba mendekati tubuh bapaknya yang jelas sudah tidak bernyawa lagi. Dhea menjerit seolah seluruh airmata mencurah membasahi pipinya yang berkilau, dan ketika itu juga seseorang menepuk pundakku:

"Dik cepat hubungi pemilik Swammile" katanya, aku mengangguk dan berlari menuju sebuah sampan yang segera kuturunkan ke sungai lalu mengayuhnya sekuat tenaga melawan arus, menuju ke seberang sungai. Akan tetapi diperjalanan sebuah boat yang membawa pemilik swamille juga sedang menuju kearah berlawanan yang artinya dia telah mendapatkan berita kecelakaan tersebut jadi akupun berbalik mengayuh perahu sampan kembali ke arah swamille. Dengan sekuat tenaga aku berlari kembali menuju bangunan dimana tubuh bang Gayus di letakan oleh para pegawai swammile. Disana aku melihat Dhea dalam pelukan seorang wanita masih menangis nampak tubuhnya yang kecil sesak menahan tangis dan aku tidak berani membayangkan kesedihan hati yang masih kanak kanak itu. Perlahan aku mendekatinya dan prempuan itu mengenalku sebagai orang yang sangat dekat dengan bang Gayus dan Dhea, dia menyerahkan Dhea kepadaku, aku memeluk tubuh kurus mungil yang biasanya riang namun kini seperti tak berdaya itu kedalam pelukanku. Aku benar benar tidak dapat membayangkan kesedihannya. Rasanya tiada ada sepatah katapun yang berguna untuk kusampaikan untuk menolongnya, semuanya tiba tiba saja terasa tidak berguna.

Aku menitip Dhea kepada mama yang dengan senang hati merawat Dhea, lagipula Naya juga senang kepada gadis cilik itu, dia ikut menjaganya. Sementara aku memandangi tubuh bang Gayus, terbayang perjalanan hidupnya yang harus merantau menghidupi seorang anak kecil sebagai seorang duda, aku membayangkan betapa beratnya menjadi seorang ayah terutama ketika harus menjadi seorang orang tua tunggal bagi seorang anak prempuan, dan kini harus pergi meninggalkannya dengan cara tragis.

Tak terasa mataku basah oleh airmata dan aku menyembunyikannya ketika kudengar para pria dan wanita diruangan itu membahas pengurusan jenazah bang Gayus yang berbeda keyakinan dengan mayoritas penduduk desa. Beberapa orang mencari tahu keberadaan keluarganya di Manado sana, kebetulan dokter desa yang orang manado akhirnya mendapatkan informasinya dengan solidaritas keyakinan kristiani beberapa orang datang dari kecamatan untuk mengambil alih prosesi, aku datang kepemakaman di kecamatan ketika jenazah bang Gayus akhirnya diputuskan oleh pihak perwakilan keluarganya untuk dimakamkan disana. Lalu beberapa orang mendatangi rumah kami menanyakan tentang puteri bang Gayus bernama Dhea, ibuku meminta untuk merawatnya dan berjanji akan memeliharanya dengan baik. Mereka juga kebetulan orang susah dan setuju.

Beberapa bulan sejak peristiwa itu aku kembali bekerja di kebun kelapa, bekerja di swammile akhirnya mendatangkan trauma berat bagiku yang harus kehilangan sosok seorang abang dengan cara begitu tragis. Namun peristiwa itu juga semakin membulatkan tekadku untuk pergi mengadu nasib di Negeri orang.

Hari itu aku berjalan bersama Naya dan Dhea ke hilir desa hanya jalan jalan bersama.
"Naya, aku akan berangkat besok" kataku
Belum sempat Naya menjawab aku membungkukan badanku kepada Dhea:
"Dhea, harus baik sama tante Naya ya" kataku.
"Kamu mau kemana?"tanyanya dengan pandangan mata lugu.
"Cari uang, biar kalau banyak uang bisa kaya dan bisa membelikan Dhea baju bagus bagus"jawabku sambil mencubit kedua pipinya yang mungil. Sementara Naya hanya  mengangguk angguk sambil memandang ke arah Dhea dan tersenyum semanis mungkin.

Ketika aku berdiri tegak Naya mendekatkan mulutnya ketelingaku.
"Sekarang kamu adalah ayahnya, Di. Tidak bisakah kamu tunda keberangkatanmu beberapa hari lagi?" tanyanya. "Lihat dia masih sedih"

Aku memandang Dhea ya mata itu belum mengerti banyak peristiwa di dunia, lalu aku memandang lurus dan berkata kepada Naya:
"Aku telah menundanya berkali kali, inilah waktu yang sangat tepat bagiku" kataku.

Naya menghela napas:
"Ya terserah kamu" katanya
Aku mengangkat tubuh Dhea dan meletakannya di atas pundaku, kami berjalan hingga ke ujung desa sambil mendukung anak itu. Orang orang memandang kami, ada juga yang menyeletuk agak keras: "Pasangan muda dan keluarga yang sangat serasi, yang cowok ganteng yang cewek manis dan cantik, anak prempuannya comel sekali" kata mereka sambil tersenyum.

Naya melirikku ketika aku memandangnya dengan menyeringai menanggapi ocehan orang orang itu.

Aku teringat pagi harinya aku pamit kepada Ayah dan juga ibu, mereka mengizinkanku karena menganggapku sudah cukup dewasa, lagipula hidupku selama ini belum juga berubah akan menjadi seperti apa. Aku ingat ayah memberiku kain sarung dan sajadah agar aku tidak lupa solat meskipun ketika berada di perantauan. Dia sedang mengetik pekerjaan kantornya, sebagai kepala sekolah kadang dia membawa mesin ketik ke rumah dan mengerjakan sisa pekerjaannya. Dia suka melakukannya di meja yang di letakan dekat jendela berkorden merah muda, dari sana angin berhembus sejuk menggoyang goyangkan kertas yang terpasang di mesin ketik yang sedang dikerjakannya. Dan dengan mengenakan kacamatanya yang menyangkut di batang hidungnya dia berkata tanpa menoleh kepadaku:
"Kamu masih muda, masih panjang perjalanan yang harus kamu lalui, pandai pandailah membawa diri"
Aku hanya mengangguk. Beda dengan adik adikku yang terlihat senang bicara dengan ayah, sebaliknya sebagai anak paling tua aku sangat jarang bicara dengannya. Dia selalu terlihat keras, baik di sekolah yang dipimpinnya maupun di rumah. Aku berdiri menghampirinya dan mengulurkan tanganku untuk menyalaminya.
"Aku berangkat" kataku.

Dia menoleh dan melihat wajahku, matanya yang biasanya keras dan kaku nampak melunak:

"ya" sahutnya. Hanya itu yang keluar dari bibir ayah.

Sebaliknya ibu walau tidak berusaha menahanku tampak sedikit sedih dan memberikan nasehat nasehat sesuai dengan sifat cerewetnya, aku hanya tersenyum, berangkat dan pergi itu sudah merupakan kepastianku. Dan ketika aku akan keluar dari rumah Dhea berlari menghambur aku menunggunya dan mengangkat tubuh mungilnya dan memeluknya erat erat, perasaan sedih melilit hatiku, seperti yang pernah Naya katakan: Dhea membutuhkan sosok seorang ayah pada diriku, namun aku masih terlalu muda dan tidak siap untuk itu dan aku harus meninggalkannya untuk mencari jati diriku.
Ibu dan adik adik prempuanku yang sedang berada dibelakangku tidak kuat menahan tangis, mereka tidak menangis untukku tetapi untuk gadis cilik yang kini sedang berada didalam pelukanku, jiwa kecil dan masih rapuh yang sedang merasakan kehilangan sosok seorang ayah untuk kedua kalinya.


BAGIAN III: HIDUP BARU DIMULAI
Johor bahru, 1996..
Aku sampai di Johor bahru dan membawa selembar catatan, sebuah kota yang baru dibangun untuk berkembang sedikit membingungkanku dan aku lalu pergi mencari telepon umum, namun nomor itu tidak menjawab. Aku kebingungan di sebuah bangunan yang sedang di kerjakan. Seorang laki laki usia 40 tahunan mendatangiku.

"Awak Indon?" tanyanya
Aku mengangguk. Dia menoleh ke kanan dan kekiri lalu menarik tanganku masuk kesudut ruangan yang ada mejanya.
"Duduk" katanya.
Masih menoleh kekanan dan ke kiri dia memandangku dengan wajah serius.
"Hati hati banyak polis disini, saya juga dari Indonesia" katanya pelan.
"Mencari siapa?' tanyanya
Aku berdiri ditempat duduk dan menyerahkan catatan berisi alamat.
"ini apa?" tanyanya sambil membaca.
Dia memandangku dengan mata yang membesar,.
"Orang yang sedang kamu cari ini ditangkap polis beberapa hari yang lalu karena menyelundupkan kayu gaharu" katanya.
Aku terkejut, dan kecewa mendengar itu
"Untuk sementara kamu boleh ikut saya" katanya.
"Saat ini ramai penyelundupan kayu ramin dan gaharu, nasib baik orang orang dapat uang yang banyak, nasib sial masuk ke dalam rukap (penjara)" sambungnya.
"Kapan alamat ini diberikan kepadamu?" tanyanya.
"2 minggu yang lalu" jawabku lesu

"Ya sudah, mari ikut saya, nanti malam akan saya kenalka ke tauke" katanya.
Dia beranjak dan aku mengikutinya, beberapa pekerja menyapanya.
"hei pak Anang" seru mereka.
Lelaki yang ku ikuti membalas dengan lambaian. Kami sampai disebuah bangunan mess sederhana terbuat semi parmanen dan memasuki salah satu ruangannya yang memang lebih mirip tempat tinggal.
 "Pak Anang..." sebutku
Dia menolehku.
"Karena kamu orang Banjar, kamu boleh memanggilku angah Anang" katanya mulai terbuka "Bagaimana memanggilmu?"

"Handi, di kampung orang orang memanggilku "Di" aku menjelaskan
"OK, Di, untuk sementara kamu bisa membantuku bekerja dengan Tauke, dia butuh beberapa orang tenaga kerja untuk menyelesaikan project, saya dipercayakan sebagai mandornya disini"

Aku lega mendengar itu. Pertama tentu saja aku akan bekerja artinya relatif persoalan keuangan akan teratasi. Kedua dia juga ternyata orang sekampung walau tidak persis sama tinggal di suatu tempat, aku tidak terlalu memikirkan itu. Ketiga posisinya sebagai mandor cukup membuatku nyaman bekerja di tempat itu, aku selalu meyakinkan diri sendiri sebagai seorang pekerja keras tanpa komplain.
***********

Tepat hari ke tiga aku dibawa ke tempat "Tauke" dia orang Cina usia 38-40, terlihat masih muda aku tahu perkiraan usianya itu dari pembicaraan Angah Anang dan teman temannya saat kami sarapan pagi di kantin Project. Paling tidak aku sudah mulai dapat beberapa orang teman untuk berbicara, kebanyakan mereka berasal dari Indonesia, India dan Bangladesh sesekali aku melihat beberapa orang Eropa memasuki project. Singkatnya aku diterima, di beri helem kerja, kacamata dan sepatu, diberikan beberapa petunjuk dari tauke dengan pesan tentang keselamatan dalam bekerja harus menjadi perhatian.

Lalu angah Anang membawaku ke ruangan administrasi, dan mendaftarkanku sebagai pekerja lepas. Menjelaskan perihal jam kerja, jam istirihat dan berapa upah yang akan aku terima setiap hari. Aku menerimanya dan menandatangani surat perjanjian kerja yang juga berisi penjelasan kontrak kerja yang berisi apa yang wajib aku patuhi dan apa hakku sebagai pekerja menurut pelaksana project bangunan itu.

Dan aku tidak serta merta langsung berada dibawah Angah Anang, aku diserahkan kepada kontraktor lain, mereka mengerjakan semua pekerjaan yang terkait instalasi listrik, instalasi pipa air ledeng, AC, dan peralatan mesin, aku ditempatkan di divisi air yang mereka sebut "plumbing". Segera aku tahu pekerjaan itu terkait dengan pemasangan pipa air, aku mengenal pekerjaan menyenai (membuat drat atau ulir pipa), memasang asesories pipa seperti elbow, socket, valve dan memasang pipa pipa kecil penyalur air, minyak dan gas untuk bangunan tersebut. Divisi kami disebut divisi "mechanical" karena memang dibawah divisi mechanic yang pekerjaan utamanya memasang dan service perbaikan mesin mesin berat di workshop.

Waktu istirihat pekerjaan adalah satu jam makan siang namun disela Jam kerja antara pukul 8.00 menuju pukul 12.00 siang biasanya pekerja dipersilahkan istirihat untuk sekedar merokok dan minum kopi, ada kantin sederhana disediakan disudut lokasi lapangan pekerjaan yagn dijadikan satu ruangan namun terpisah dengan loker tempat pekerja menyimpan peralatan pribadi seperti pakaian ganti, atau barang barang pribadi. Aku biasanya ke kantin setelah pukul 12.00 untuk makan siang, harga makanan menurut beberapa pekerja terbilang mahal yaitu sekitar 6 ringgit Malaysia untuk satu porsi nasi dengan lauk ayam dan sayur, diluar masih bisa dibeli dengan harga 5 ringgit.

Namun memang tidak ada pilihan, kami harus makan agar punya tenaga lagi pada saat bekerja. Di meja meja kantin pekerja biasanya akan duduk duduk bersama kelompok sesama divisi, dan aku sudah punya 6 orang teman yang duduk menghadap meja yang sedang kudatangi. Mereka menyapaku dengan bersemangat.

"hai, geng" itu salam mereka.
Aku tersenyum sambil meletakan piring berisi nasi yang tadi kupesan dan kubawa sendiri kemeja.
"Berarti aku makan duluan karena aku punya makananku" kataku tertawa.
"OK, no problem, go ahead" kata temanku yang India. Kebiasaan membawa makanan sendiri setelah memintanya di counter kantin lama kelamaan mereka tiru, dan kamipun makan bersama sambil bercerita pengalaman dari kampung masing masing.

"Man, aku dari Bangladesh punya adik prempuan cantik gak percaya?" teman yang dari bangladesh tiba tiba angkat bicara sambil tangan kirinya sibuk merogoh saku celananya karena tangan kanannya masih memegang sendok nasi. Aku menoleh perbuatannya itu.

Sementara teman Indiaku yang bernama Gupta yang duduk disebelah kiriku mendekatkan wajah ketelingaku dan berbisik: "Abaikan saja Di. Paling mirip dia, lihat wajahnya? Hitam kurus gak karuan"
Aku tersenyum namun tidak melepaskan pandanganku pada Ibrahem yang masih mencoba mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
"Mana?" tanyaku panasaran.

Akhirnya dia berhasil mengeluarkan selembar photo dan membantingnya ke meja. Semua teman memandang. Gupta tersedak dan buru buru minum.

"Cakep, man" katanya batuk batuk "Itu benaran gak ya?"
Aku memungut photo itu, benar seorang gadis imut berkulit hitam manis dengan rambut panjang lebih mirip orang India. Ibrahem melanjutkan makannya.

"Memangnya kamu naksir, Di?" tanya Usman temanku asal Indonesia asal Kalimantan dengan bahasa daerah "Bayangkan kalau kamu sampai punya mertua orang Bangla"
Dia tertawa terkekeh kekeh.

"Dia Cakap apa?" tanya Ibrahem yang tidak mengerti karena kami menggunakan bahasa suku kami Indonesia.
"Hmm, dia mengakui kecantikan adikmu, dia langsung naksir berat"jawabku geli.

"Apa Di? Sialan kamu" protes Usman.

"Bukan, friend, tadi aku suruh Handi menikahi adikmu, dia itu anak baik, anak ustazd di kampung kami di Indragiri Indonesia gak rugi lho orang tuamu punya menantu seperti dia" katanya buru buru menjelaskan.

Kami tertawa dan Ibrahem merampas photo adiknya kembali.
"Aku janji akan belikan adikku kalung emas untuk ulang tahunnya yang ke 17 belas" katanya.

Tidak terasa waktu merambat diatas kota Johor yang semakin pesat membangun. Project bangunan di salah satu sudut kota yang sedang kami jalani hanya tinggal finishing, beruntung kami bagian divisi mechanical daripada orang sipil yang mengerjakan fisik bangunan dan berkutat dengan batu, pasir dan semen, apabila bangunan telah selesai maka selesailah juga kontrak pekerjaan mereka, artinya mereka harus bersia siap mencari bangunan baru, biasanya pemilik project akan menawarkan tenaga mereka ke project lain yang sejenis dan sedang dikerjakan ditempat lain. Kami divisi mechanical mengerjakan penyelesaian: Misalnya memasang AC, melakukan perawatan instalasi listrik dan air sampai bangunan siap di serah terimakan. Satu satunya bagian sipil yang masih tertinggal adalah para tukang cat yang juga akan melakukan sentuhan akhir pengecatan pada dinding dinding luar dan dalam bangunan. Suatu hari Angah Anang mendatangiku.

"Di, temani aku ke kampung luar bandar, saya ada kenalan maksud saya keluarga angkat" katanya.
Aku mengangguk. Hari itu minggu pekerjaan bisa libur jadi saya pikir daripada tinggal didalam bangunan bersama teman teman dan bosan mengapa tidak ikut Angah Anang siapa tahu menjadi pengalaman baru. Angah Anang ini seorang lelaki yang ringan tangan menolong orang lain dan cepat sekali memiliki teman. Demi menghidupi keluarga di kampung halaman di Indonesia dia seorang pekerja keras dan hasilnya di kirim ke kampung. Konon keluarganya cukup terpenuhi kebutuhan mereka dan bahkan bisa menabung.

"Sekarang!" katanya memandangku.
Aku terburu buru kembali kedalam untuk mengambil tas dan keluar ketika sebuah taksi telah mampir di hadapan Angah Anang dia masuk duluan disamping sopir aku membuka pintu belakang dan duduk dibelakang mereka. Angah Anang berbicara dengan sopir tersebut dalam bahasa Melayu memberitahukan tujuan kami sopir mengangguk ngangguk setelah bertanya detil alamatnya.
[Bersambung]

Comments

Popular posts from this blog

Taman bunga mawar untuk Magdalena

Aku pernah hidup hanya separoh hati (bagian kedua)

Aku pernah hidup hanya separoh hati (bagian ketiga)